Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Cindera Mata dari Sebastio

(Ilustrasi cangkang siput laut, sumber foto : www.depositphotos.com)

Oleh : Pudji Widodo

Jam 14.00 WIT, aku beranjak dari ruang tunggu Balai Pengobatan (BP) Lanal Dili dan menutup pintu klinik. Sebelum apel siang, aku biasa menuju ruang sekretariat. PNS Dominggus Kepala Sektetariat (Kaset) Lanal Dili, membiarkan aku membaca berbagai surat, telegram dan undangan seperti membaca koran. Bila ada disposisi Komandan Lanal untukku bisa aku kutanggapi saat itu juga. Pak Dominggus tinggal menyodorkan buku yang harus kuparaf sebagai bukti disposisi Komandan telah tersampaikan.

Aku masih berdiri di teras klinik, saat dari arah toko koperasi ada suara menyapaku.
"Selamat siang Pak dok."
Oh Sebastio, aku merasa tidak punya janji bertemu hari ini.
"Pasti dia bawa ikan untuk dokter," Pak Rumbiak, perawat jaga malam ini yang sedang menyapu teras mengomentari kehadiran Sebastio.

Sebastio tersenyum lebar saat kami berjabat tangan 
"Halonusa diak ka lae Sesilia ?"
("Apa kabar Sesilia ?")
"Tambu Sesilia hau mai Papa dok."
("Ya karena Sesilia saya datang Pak dok."
"Prontu sinyora diak ona."
("Semoga nyonya sudah membaik").
"Nia diak ona, obrigado barak. Aimoruk malaria nia husi papa dok diak liu kapas los."
("Dia sudah sembuh, terima kasih banyak, obat malaria dari Pak dok sangat manjur.")

Sesilia adalah isteri Sebastio, tiga bulan yang lalu dia keguguran karena malaria. Aku mengantar Sesilia ke RSUD dengan suzuki katana kendaraan dinas (randis) Perwira Staf Administrasi dan Personel (Pasminpers) Kapten Marinir Siregar. Setelah kuretase, Sesilia belum hamil lagi, malah malarianya yang relaps.

Selama aku mengenal Sebastio, hanya Sesilia dan anak pertama mereka yang datang berobat ke BP Lanal. Aku pernah menyampaikan, bila orang tua, tepatnya paman dan bibinya sakit agar datang ke tempat aku praktek sore, gratis. Personel penjagaan pun sudah hafal dan menjadi gurauan bahwa Sebastio adalah binaanku.

Kami para personel Lanal mengenal Sebastio sebagai penjual ikan keliling. Setiap kali melewati Lanal dia selalu menawarkan ikan yang dia bawa.
Ikan yang sering dia bawa jenis bawal dan baronang. 

Aku sering beli ikan dari Sebastio. Beruntung dr. Ari yang saya gantikan meninggalkan kulkas satu pintu di klinik. Aku bisa menyimpannya di freezer dan sebentar sore bau ikan bakar telah menyebar di halaman belakang klinik.

Selesai jam kerja, aku kembali sebentar ke mess di kawasan Aitarak Laran - Motael. Mengurus cucian baju lalu kembali ke kantor. Aku jarang tidur di mess dan lebih sering menginap di kantor.

Pak Mul, PNS perawat paling senior di klinik, yang menanam dan merawat tanaman cabe dan tomat. Semua perawat BP Lanal Dili jago membuat sambal. Ikan bakar dan sambal adalah salah satu cara menambah variasi dan kualitas gizi jatah makan dari dapur Lanal. Juga menjaga kadar protein tubuh sebagai bahan baku dan memulihkan jumlah sel darah merah yang terdestruksi akibat malaria.

******

Selain memberitahu kesembuhan Sesilia, Sebastio juga membawa barang pesananku. Dia membawa tiga cangkang siput laut berbagai ukuran. Aku minta dia mencarikan cangkang siput untuk kujadikan pajangan meja. Cangkang siput itu akan kubawa pulang saat ada kesempatan cuti kembali "rahkang". Cuti pulang ke Jawa, meninggalkan daerah operasi sementara disebut sebagai kembali ke daerah belakang. Kami biasa menggunakan istilah '"Rahkang."

Meskipun tidak mau, aku memaksa Sebastio menerima uang pemberianku. Dia menjelaskan ikan dan cangkang siput itu titipan dari Sesilia.
"Hau la faan papa dok."
("Saya tidak menjual Pak dok.")
"Hau mos la hola ida, ne hangsan obrigado husi hau to ba onia fen."
("Saya juga tidak membeli, itu tanda terima kasih saya untuk isterimu.")

Kami beriringan meninggalkan klinik dan menyusuri paving block selebar 2,5 m. Jalan paving block itu menghubungkan klinik di bagian belakang areal Lanal dengan lapangan apel. Jalan paving block kubangun agar pengunjung klinik nyaman melintas karena tidak becek.

Ini bukan yang pertama kami berjalan beriringan. Aku selalu memperhatikan bagaimana pandangan Sebastio menyapu seluruh areal kantor Lanal, khususnya bila melewati gudang senjata. Di penjagaan Lanal, meskipun semua anggota telah mengenal Sebastio dekat denganku tetap saja seperti waktu masuk, bekas kantung beras yang dibawanya diperiksa meskipun telah kosong.

Pernah waktu beriringan denganku seperti siang ini, kami bertemu dengan Rodrigo Nacimento yang sedang berbincang dengan Lettu Yosfianto, Pasintel Lanal. Sebastio sekedar mengkonfirmasi "Ne dani Rodrigo karik papa dok?" ("Itu kan Rodrigo Pak dok") sambil meneruskan menyebut nama salah satu kelompok milisi.
"Tebes duni nia Rodrigo. Ami narang colega malu ho ema hitu hanesan. Ita maung alin ho subrinho."
("Ya, betul dia Rodrigo. Kami bebas berteman dengan semua warga masyarakat. Seperti kita juga bersaudara.")

******

Sesungguhnya aku tidak mengenal utuh diri Sebastio. Dia mengatakan keluarga besarnya di Ermera, sejak usia 4 tahun dia ikut paman dan bibinya yang tidak punya anak di Dili. Ketika masuk jaman integrasi, Sebastio baru lahir. Jadi saat masuk Sekolah Dasar, dia termasuk generasi dekade pertama yang menggunakan seragam Pramuka.

Dia juga pernah cerita saat mbolos sekolah karena diajak kakak mahasiswa mengikuti kelompok demonstran di area pemakaman Santa Cruz. Di Santa Cruz pada 22 November 1991, untuk pertama kalinya dia mendengar suara tembakan senjata prajurit ABRI. Di area pemakaman itulah untuk pertama pula Sebastio remaja melihat orang berlarian berlindung dan diataranya ada yang jatuh bersimbah darah.

Tentang isterinya, Sesilia menggantikan bibi Sebastio sebagai pedagang sayur dan berbagai keperluan dapur di pasar Becora. Di lapak - lapak penjualan barang yang memerlukan modal agak besar sebagian besar pedagangnya dari pendatang. Ada nada cemburu ketika Sebastio menceritakan hal ini. Saudara Sesilia ikut membantu kios toko plastik milik orang Jawa.

Sebastio sering memberitahu bahwa 2-3 hari lagi akan ada demo. Dia bilang ada teman di gereja yang selalu memberi informasi. Secara formal hubungan ABRI dengan gereja tampak harmonis.
Uskup Belo selalu hadir pada berbagai acara yang diselenggarakan Korem 164/Wira Dharma. Namun secara pribadi, aku menduga para klandestin berlindung di balik tembok gereja.

Hingga satu hari David Alex, salah satu pemimpin perjuangan bersenjata Falintil dilumpuhkan pasukan ABRI dalam pertempuran di wilayah Caibada, Bacau. Pada 25 Juni 1997, Alex dan empat anak buahnya ditangkap, namun David Alex lalu meninggal dalam perawatan.

Lagi-lagi Sebastio memberi tahu akan ada demo. Mungkin masyarakat akan minta jenazahnya untuk diarak dalam barisan demonstran. Tentu saja Korem tidak akan mau menyerahkan dan memilih memakamkan langsung. Selama David Alex dalam perawatan dan beberapa hari setelah kabar meninggalnya, salah satu KRI yang lego jangkar di lepas pantai Dili selalu menyorotkan lampu secara periodik ke arah pantai pada malam hari.

Benar, ada demo atas meninggalnya David Alex. Ketika barisan itu masih berada di depan markas Kodim Dili, teriakan para demonstran sudah terdengar sampai penjagaan Lanal.
"ABRI pulang saja," "Viva Timor Leste," itulah teriakan para demonstran disertai berbagai caci maki.

Aku berada di lantai balkon Markas Lanal bersama Sertu Pedro, seorang staf intel Lanal yang siap dengan kamera foto. Ketika para demonstran melintas di depan Lanal, teriakan "ABRI pulang saja" kembali bergema. Anehnya ada juga teriakan "hidup marinir, hidup marinir". Sertu Pedro sigap mengambil foto barisan demonstran yang melintas di depan Lanal. 

Ternyata ada truk dengan bak terbuka berada di tengah barisan demonstran. Tepat ketika truk melintas di depan Gedung Markas Lanal, jelas terlihat Sebastio berdiri di sisi kanan bak truk. Rupanya dia pun tahu aku ada di balkon. Maka di antara gemuruh caci maki terhadap ABRI, terdengar pula teriakan Sebastio "Pak dokter, terima kasih,"
"Pak dokter." Teriak Sebastio sambil melambaikan tangan.

******

Seperti yang kuwaspadai selama ini, Sebastio sahabat baikku memilih sikap antiintegrasi. Sejak itu Sebastio tidak pernah lagi berkunjung ke klinik Lanal untuk mengantarkan ikan atau berobat. Sampai tiga bulan kemudian dr. Yobi personel Satgas Puskes TNI menelponku. Dokter Yobi mengatakan bahwa ada pasien luka tusuk di perut minta ijin bertemu denganku.

Ketika sampai di ruang High Care Unit (HCU), aku segera mengenali pasien itu. Sebastio mencoba membuka matanya ketika aku menyentuh punggung tangannya.
"Papa dokter, hau itusu diskulba. Hau ba Viqueque. Hau sidauk lori Fobinang."
(Pak dokter, saya minta maaf. Saya pergi ke Viqeqe. Saya belum kirim cangkang siput.")
"Oo la sala Bastio. Hau nafatin o nia subrinho."
("Kau tidak salah Bastio, aku tetap saudaramu.")
"Obrigado papa dok."
("Terima kasih pak dok.")
Hanya itu perbincangan kami. Viqeqe termasuk wilayah hot spot dan menjadi salah satu basis perjuangan Falintil.

Di koran lokal, termuat berita perkelahian antar warga di pasar Becora. Entah apa pencetusnya, dari Sertu Pedro ada informasi bahwa penusuk Sebastio adalah anggota salah satu milisi ormas pamswakarsa. Beberapa hari kemudian, dr. Yobi kembali meneleponku, memberi kabar duka bahwa Sebastio meninggal karena sepsis pasca operasi.

*********

Awal bulan Mei 1999 aku meninggalkan Dili karena dokter pangkalan penggantiku telah datang. Hingga seperempat jam setelah KRI jenis LST yang kutumpangi lepas tali dari dermaga Dili, aku masih berdiri di railing kapal menatap pantai dan gedung terminal penumpang pelabuhan Dili. Sebelum meninggalkan Dili, bersama seluruh perwira kami telah menyusun rencana kontinjensi. Hal ini untuk mengantisipasi kedaruratan situasi pasca jajak pendapat yang ditawarkan Presiden Habibi. 

Ini seperti peran peninggalan bila kapal tak bisa dipertahankan dan terancam akan tenggelam. Komandan Lanal telah menghitung risiko terburuk pasca jajak pendapat dan kemungkinan timbulnya konflik horizontal. Juga seluruh keluarga terutama wanita dan anak diprioritaskan menggunakan KRI untuk dibawa ke pangkalan TNI AL terdekat di Kupang.

Di tepi railing kapal, saat itu aku membayangkan kelak masa depan Timor Timur. Dalam bidang kedokteran terdapat istilah prognosis penyakit "Dubia ad malam," artinya ragu-ragu ke arah perburukan. Seperti itulah kemungkinan nasip Provinsi Timor Timur. Sebaliknya bagi pejuang Timor Lorosae, masih "Dubia ad bonam," artinya ragu-ragu ke arah membaik atau keberhasilan. 

Lima bulan kemudian, 30 Agustus 1999, jajak pendapat dimenangkan pendukung prokemerdekaan Timor Timur. Keberhasilan perjuangan yang tidak bisa dinikmati Sebastio. Bayangan kebaikan Sebastio bergelayut dalam kenanganku. 

Namun kebaikan seorang Sebastio tidak pernah akan sebanding dengan kesedihanku mengenang ribuan prajurit yang gugur mempertahankan integrasi Timor Timur dalam bingkai NKRI. Ada benturan nilai, bagaimanapun pilihan sikap Sebastio, sejatinya selaras dengan narasi konsitusi Indonesia "bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa." (pw)

Pudji Widodo,
Sidoarjo, 6 Maret 2022 (102).

Catatan : Kecuali Lanal Dili dan sejarah integrasi Timor Timur, cerita ini hanya fiksi belaka. Jika terdapat kesamaan foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, hal tersebut adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.



Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Cindera Mata dari Sebastio"

DomaiNesia