Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Menikmati Tempe di Daerah Operasi

Menikmati Tempe di Daerah Operasi

(Bersama ibu-ibu yang saat kembali dari berkebun melintas di landasan pacu Lapter Mavivi, Beni, Kongo. Lapter Mavivi dibangun Kontingen Garuda XX-B 2004-2005. Foto dokpri)

Anggota tidur dalam

Status anggota tidur dalam, adalah satu istilah yang sebenarnya berlaku untuk perwira, bintara dan tamtama remaja yang belum berkeluarga. Status tersebut membuat mereka wajib tinggal di mess atau barak satuan. Biasanya terdapat tradisi satuan yang berlaku bagi personel tidur dalam.

Saat bertugas di Timor Timur, seluruh perwira staf Lanal Dili tinggal di mess perwira. Karena tidak ada yang membawa keluarga, maka kami semua para perwira termasuk kelompok tidur dalam.

Juga 1 peleton personel gabungan marinir, komunikasi dan polisi militer penugasan dari Surabaya tinggal di Mess. Sedang personel Satgasla KRI di bawah Kolakops Timor Timur tentu tidur di kapal yang sehari-hari bersandar di dermaga Pelabuhan Dili. Sebagian besar personel Lanal Dili tinggal bersama keluarga di perumahan dinas.

Konstruksi rumah-rumah di kawasan tempat tinggal saya bentuknya sama. Saya tinggal di Aitarak Laran - Desa Motael Kecamatan Dili Barat. Mungkin dulu wilayah itu merupakan kompleks perumahan pejabat era kolonial Portugis. Menurut Kopka Angelino seorang marinir putra daerah, pada jaman sebelum integrasi kawasan mess saya dulu tertutup bagi warga lokal.

(Penulis di depan kantor Gubernur Timor Timur 1996, foto dokpri)

Yang saya kagumi, dinding tembok rumah tebalnya sampai hampir 30 Cm. Lantainya ubin semen merah, yang siang hari pun terasa dingin di telapak kaki. Di dapur sudah ada pipa gas yang justru tidak berfungsi ketika Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia.

Karena faktor keamanan, saya hampir tidak pernah tinggal di mess. Kecuali sore hari saya mampir ke mess sebentar untuk mencuci pakaian dan mengambil pakaian bersih, lalu melanjutkan praktek dokter di klinik kantor. Malamnya saya tidur di kantor.

Bagaimana dengan persoalan makan ? Semua yang berstatus tidur dalam makan dari sumber yang sama, yaitu dapur pangkalan. Supervisi higiene sanitasi merupakan tugas yang melekat pada saya sebagai dokter pangkalan.

Tempe di daerah operasi

Tidak ada personel wanita yang memperkuat dapur Lanal Dili. Seluruh personel dapur diambil dari para prajurit penugasan dari Surabaya ditambah satu PNS anggota tetap Lanal. Tentang kualitas dan cita rasa hasil karya mereka, bagi prajurit lainnya yang menikmati hanya ada kata enak dan enak sekali.

Penyediaan makanan massal memudahkan investigasi pada kejadian luar biasa. Misalnya didapati sejumlah personel sakit yang diduga berhubungan dengan buruknya higiene sanitasi makanan dan dapur satuan.

Persoalan higiene dan sanitasi makanan dan dapur juga makin kompleks bila populasi yang dilayani semakin besar, misalnya lembaga pendidikan militer dan saat pergeseran pasukan dengan kapal perang. Risiko transmisi penyakit pada penggunaan dapur lapangan juga terjadi pada kegiatan latihan maupun saat penanggulangan bencana.

Ketika penulis bertugas di AAL, bukan hanya kualitas kecukupan gizi kadet saja yang dipertanggungjawabkan, namun status kesehatan para pejamah makanan secara periodik juga diperiksa. Hal ini karena para pejamah makanan yang terlibat dalam pengelolaan makanan kadet AAL bisa menjadi sumber transmisi penyakit, jika mereka ternyata mereka adalah carrier penyakit.

Kembali ke jaman bertugas di Lanal Dili. Hampir tiap hari saya bertemu tempe dalam rantang jatah makan kami. Tempe dan tahu terus ada mendampingi telur, daging, ayam dan ikan. Sajian terik tempe berkuah olahan dapur Lanal Dili, merupakan menu favorit saya.

Diolah menjadi lentho tempe dan digoreng juga merupakan menu istimewa di lidah saya. Di daerah lain ada yang menyebut mentho. Sedang di Surabaya lentho merupakan komposisi dari menu lontong balap, disamping tahu dan sate kerang.

Saya senang bisa menemukan tempe di Timor Timur pada tahun 1995. Tidak berlebihan bila kehadiran tempe mengobati kerinduan kepada keluarga. Ternyata tempe mulai ada di Timor Timur sekitar 1983 dengan konsumen terutama adalah anggota ABRI.

Dari situs Langit perempuan terungkap Ibu Kasnati yang berjasa pertama kali memproduksi tahu tempe di Dili sejak 1983 . Sampai tahun 2016 wanita tangguh ini menjabat sebagai Ketua Koperasi Perajin Tahu Tempe (Kopti) Timor Leste. Tahu tempe sempat menjadi isu sensitif ketika dianggap sebagai upaya peracunan para pendatang terhadap warga lokal [1].

Ketika melaksanakan tugas sebagai Kontingen Garuda XX/B dalam misi MONUC di Republik Demokratik Kongo, personel Zeni Marinir Surabaya membawa bekal ragi tempe. Saat mendapat kesempatan bergilir ke Uganda, mereka selalu berusaha membeli kedelai untuk diolah menjadi tempe. Jadi selama setahun bertugas di Kongo pada periode 2004-2005, saya pun selalu kebagian menikmati lezatnya tempe goreng.

Proses pembuatan tempe meliputi tahapan hidrasi kedelai, pematangan sebagian, pengasaman, pengupasan kulit, pengeringan permukaan, inokulasi dengan starter, pengepakan dalam kemasan, dan inkubasi (fermentasi). Menunggu proses fermentasi tempe selama 2 hari pun mendebarkan. Ada kekhawatiran kedelai gagal menjadi tempe. 

Semula ada keraguan apakah benar kedelai telah dipenuhi miselium jamur yang mengikat kedelai menjadi padat. Ya alah bisa karena biasa berlaku dalam membuat tempe. Tempe membuat menu makan harian lebih bervariasi dan mengatasi kebosanan terhadap makanan jatah logistik dari markas PBB.

Saat memperingati Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 2005 di Central Operation Base Bunia Kongo, kontingen Garuda Indonesia menyajikan tempe goreng dan soto ayam kepada personel kontingen pasukan negara lain yang menjadi tamu undangan. Bagi Panglima Divisi Timur Pasukan PBB MONUC Mayor Jenderal Marinir Patrick Cammaert yang berasal dari Belanda, mungkin sudah biasa menemukan tempe di toko swalayan di negerinya. Tapi bagi tamu undangan lain, kami masih harus menjelaskan apa itu tempe.

Selain menu berbahan dasar tempe, personel dapur markas Kontingen juga menyajikan kolak pisang dan ubi serta jajanan tradisional "lemet" yang dibuat dari singkong. Seorang Kolonel Komandan Brigade Infanteri FARDC kagum setelah tahu yang dia nikmati adalah makanan dari ketela pohon atau singkong. Dia lalu membandingkan dengan kue khas Kongo yang dia sebut fufu atau kwanga .

Lemet dibuat dari parutan singkong yang dicampur gula merah dan direbus dalam balutan daun pisang. Di Kongo singkong yang disebut sebagai kasava, merupakan makanan pokok selain jagung. Singkong dan pisang raja yang dilumatkan merupakan bahan dasar kue khas Kongo yang disebut fufu atau kwanga.

Penutup

Untuk kesekian kalinya perajin tahu tempe mogok produksi. Tidak lama hanya tiga hari tanggal 21-23 Pebruari. Aksi para perajin tahu tempe se Indonesia tampaknya sekedar mengingatkan tugas pemerintah untuk mengatasi kemelut ketersediaan dan memulihkan kestabilan harga kedelai. Kemelut kedelai pun membuka rekaman ingatan saya, betapa berjasanya tahu tempe menjaga semangat tugas prajurit di daerah operasi (pw).

Pudji Widodo,
Sidoarjo 02032022 (101).

Rujukan : [1]

Nulis Bersama
Nulis Bersama Ruang berbagi cerita

Posting Komentar untuk "Menikmati Tempe di Daerah Operasi"

DomaiNesia