Arti Sebuah Keluarga bagi Goenigh
Goenigh Hadirat dan Dinde Purnama sudah menikah hampir dua puluh dua tahun. Anak mereka empat orang, suasana di rumah cukup ramai. Ditambah kehadiran ayah dan ibu Dinde yang juga ikut menetap di rumah kontrakan dengan jumlah kamar hanya empat. Lengkap sudah kepadatan penduduk dalam satu rumah.
Awalnya orangtua Dinde tinggal di Aceh, sejak kejadian tsunami akhirnya pada Tahun 2004 mereka menetap di Bandung. Dinde satu-satunya anak mereka yang masih hidup. Semuanya lima bersaudara, dua kakak dan dua adik Dinde yang tinggal di Aceh meninggal saat bencana tsunami. Sebagai seorang nelayan tak banyak yang bisa dilakukan Ayah Dinde di Bandung kecuali menemani sang istri mengurus cucu-cucu mereka.
Dalam keluarga besar, urusan makan menjadi soal yang cukup sensitif. Dinde harus rajin putar otak agar gaji suaminya yang besarnya tiga koma lima juta rupiah itu tidak persis sindiran buat pegawai yang nasib hidupnya tiga koma. Uang hanya cukup untuk menghidupi tiga hari setelah bayar tunggakan, sisanya dalam keadaan koma. Miris.
Agar pengeluaran untuk makan tidak lebih dari seratus ribu perhari bahkan sebisa mungkin kurang dari itu, Dinde harus putar otak dalam sebulan. Kiat Mbak Nur tetangga sebelah ia terapkan baik-baik. Rumusnya makan cukup dengan tiga T, telur, tahu dan tempe. Bila ada sayur yang menemani tak jauh dari tumis kangkung, buncis dan bayam.
Seminggu pertama saat minyak sayur masih agak melimpah, telur dikreasikan dimasak dengan cara didadar, goreng atau dibalado. Komposisinya harus pas agar semua bisa kebagian.
Tempe dan tahu otomatis menjadi teman makan yang hampir tak kuasa lenyap dalam menu. Sebulan sekali memang ada ayam goreng yang dimasak dengan tepung crispy super tebal agar satu potong bisa buat berdua atau dimakan pagi dan sore.
Dinde tak mengeluh kalau harus mencari tambahan dengan membantu membersihkan rumah Bu Warkono, istri Pak RW yang punya toko matrial paling mentereng di Kecamatan Coblong. Bagi Dinde asal pekerjaan halal dan dirinya masih kuat untuk bekerja, tak ada yang bisa membuatnya merasa terhina.
Pekerjaan Dinde di rumah Bu RW tak banyak menyita waktu cukup dua jam saja sehari, upahnya buat bayar kontrakan. Kadang kala kalau tiga orang anak Pak RW butuh tempat bertanya saat mengerjakan tugas di rumah, Dinde kerap membantu dan mendapat uang ekstra. Dinde memang lulusan Perguruan Tinggi di Bandung hingga bisa mengerti pelajaran anak-anak Pak RW baik di SD hingga SMA.
Goenigh merasa iba pada Dinde yang sudahlah letih mengurus rumah masih harus membersihkan rumah orang lain pula. Tapi dirinya merasa tak bisa berbuat banyak, sebagai guru PNS yang baru golongan tiga dan belum sertifikasi, kesejahteraan sepertinya hanya angan-angan. Memang banyak teman-temannya yang bekerja di perusahaan swasta atau berwirausaha yang bilang enak sekali kalau jadi PNS kerjanya santai dan gajinya lancar. Kenyataannya jauh dari yang mereka bayangkan.
Puluhan tahun jadi guru, tak bisa beli rumah. Kendaraan yang dimilikinya hanya motor butut yang meminta perhatian lebih untuk perawatan ini itu. Untunglah anak sulungnya cerdas hingga bisa melanjutkan ke perguruan tinggi dengan beasiswa. Ia pun bekerja sambilan untuk tambahan uang saku, begitu juga ketiga anak yang lain. Mereka berusaha mandiri mendapatkan uang saku. Bahkan kakak si bungsu sudah punya usaha membuat layangan dan dipasarkan secara online.
Goenigh telanjur terpikat menjadi seorang guru. Memberikan perubahan pada sebuah jiwa hingga timbul pemahaman penuh makna pada dunia menjadikan cintanya pada profesi guru semakin membara. Dalam hal penghasilan memanglah jauh dari kata cukup tetapi batin Goenigh terasa penuh.
Tuhan memang Maha Adil, segala kekurangan yang dialami oleh keluarga Goenigh malah membuat ikatan mereka semakin kuat. Pernah suatu hari Pusarani Waktuna, si bungsu yang baru kelas satu sekolah dasar merajuk tak mau makan karena bosan dengan menu yang sama dari bulan ke bulan. Sang kakak, Persamaana Seimbangi lantas mencari pekerjaan tambahan dan pulang membawakan dua potong ayam crispy kesukaan si adik.
“Ini untuk Rani semua, Kak Persa?” tanya Pusarani dengan binar mata bahagia.
“Iya. Itu untukmu semua, Dik,” tukas Persamaana tulus.
Dipeluknya Persamaana dengan penuh kehangatan tanda terima kasihnya pada sang kakak. Alih-alih menghabiskan seluruh makanan sendiri, Pusarani malah membagi rata, dua potong dada ayam berukuran besar menjadi delapan bagian. Pusarani akhirnya hanya mendapat sekerat kecil yang dimakan penuh rasa syukur. Ia makan dengan lahap.
Goenigh terharu tanpa sadar air matanya mengalir deras. Segera saja suasana haru menular ke segenap pemilik hati di dalam rumah sederhana itu. Dinde terlihat jauh lebih tenang. Saat air mata haru mengalir di pipi suami dan anak-anaknya, Dinde mencium ubun-ubun Pusarani dan dibisikkan olehnya sebait doa.
“Ya Allah, jadikanlah kami keluarga yang senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah berikan. Jadikanlah kami bersabar atas ujian yang engkau timpakan dan karuniakanlah kepada kami anak-anak yang saleh dan salehah,” ucap Dinde lembut.
Serempak semua anggota keluarga yang mendengar doa Dinde mengaminkan bahkan Ibunda Dinde mengangkat tangan dan menambahkan dengan doa-doa tulus dalam hatinya. Hari itu hari terakhir keluarga mereka berkumpul bersama. Keesokan harinya berturut-turut keluarga Dinde pergi menghadap Sang Maha Kuasa.
Suasana pandemi virus Corona memberi dampak pada mereka. Awalnya Goenigh positif terkena Covid-19 tetapi tanpa gejala lalu kemudian Ibunda Dinde yang meninggal karena sudah lama menderita asma.
Ayah Dinde menyusul seminggu kemudian, lalu anak kedua Dinde, Persamaana dan berikutnya Pusarani dalam waktu yang hampir bersamaan. Goenigh berkali-kali tak sadarkan diri saat mengetahui Pusarani pun harus pergi selamanya. Hanya Dinde yang terlihat sangat tabah. Memang air matanya mengalir hingga kedua kelopaknya bengkak tetapi, ucapan yang keluar dari mulutnya hanyalah permintaan ampunan dan keselamatan untuk kepergian orang-orang yang dicintainya.
Kehilangan empat sekaligus orang-orang yang mereka cintai, mendatangkan sebuah rasa yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Kenangan demi kenangan bermunculan di benak Goenigh. Sebuah keyakinan kuat kini tertanam erat bahwa hidup ini memang bagaikan beristirahat di sebuah pohon di antara perjalanan panjang. Sesaat.
Goenigh Hadirat berikrar menjalankan kehidupan yang diinginkan-Nya di dunia yang sementara ini. Ia tak akan pernah keberatan seumur hidupnya tak pernah merasakan makanan lezat atau berpergian melihat negri yang jauh karena tujuannya kini semakin jelas. Berkumpul kembali dalam rumah-Nya bersama keluarga tercintanya.
Tamat
Posting Komentar untuk "Arti Sebuah Keluarga bagi Goenigh"